Tuesday, October 10, 2006

Ada di mana negara? Ada di mana kita?

Tiap hari ada jutaan cerita sedih terjadi di sekitar kita. Tidak percaya? Cobalah berjalan keluar rumah, atau baca/simak/tontonlah berita di media massa, pasti beruntun cerita sedih akan menjadi santapan harian kita.
Anak-anak usia sekolah di Talang Mamak (daerah pedalaman di Riau) tak bisa mengenal apa itu membaca dan menulis karna hanya ada satu guru di sana yang bersedia mengajar mereka. Ini kutipan dari berita tentang mereka di Kompas (29 Sept 2006): "Fasilitas belajar-mengajar khusus bagi anak-anak suku Talang Mamak di Riau hingga kini belum terpenuhi. Beberapa sekolah swadaya masyarakat setempat dan bantuan swasta tidak dapat bertahan karena kekurangan biaya dan ketiadaan guru. Akibatnya, anak-anak suku Talang Mamak, terutama di Kecamatan Batang Gansal dan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, belum terbebas dari buta huruf." Lalu di mana bukti dari ucapan dalam butir undang-undang nasional kita yang mengatakan tiap anak Indonesia berhak atas pendidikan dasar sampai dengan usia 15 tahun?
Kisah getir lain ada di sekolah-sekolah gugusan kepulauan Talaud. Para murid kekurangan buku paket pelajaran. Di pulau itu tidak ada toko buku, para guru harus mengupayakannya di kota besar seperti Manado atau Tahuna. Butuh waktu khusus setidaknya dua minggu perjalanan untuk pulang-pergi ke pulau lain, mengingat kapal yang berlabuh di dermaga Miangas hanya seminggu sekali, dan ketika ingin kembali ke Miangas mereka harus menunggu kembali kapal yang akan berangkat. Terpaksa sebuah buku dipakai oleh 3-5 orang murid. Jumlah gurupun sangat minim...
Cerita dari kepulauan Aru (Maluku) tak kalah pedih. Jumlah tenaga kesehatan sangat kurang. Saat ini di sana hanya ada satu puskesmas rawat inap, tujuh puskesmas, serta 24 puskesmas pembantu. Ada delapan dokter umum dan seorang dokter gigi, serta 167 paramedis. Mereka harus melayani sekitar 65.000 penduduk yang tersebar di 89 pulau dari 187 pulau yang ada (Kompas,27 Mei 2006).
Menurut laporan Unicef jumlah anak balita penderita gizi buruk melonjak dari 1,8 juta (tahun 2005) menjadi 2,3 juta (2006). Banyak keluarga miskin yang tidak tersentuh pelayanan posyandu dan tidak punya cukup uang untuk meli makanan yang bergizi. Saat ini semakin banyak keluarga miskin yang hanya mengonsumsi gaplek karna tidak sanggup membeli beras. Bahkan di tayangan berita TV beberapa waktu lalu ditunjukkan bahwa beberapa nenek-nenek menadah butiran-butiran beras yang jatuh dari pengangkut beras di pasar induk Cipinang. Mereka menyapu beras-beras yang berjatuhan di jalan, lalu dengan telaten membersihkannya, memasaknya dan makan dari beras yang jumlahnya sedikit itu...
Korban muntaber di beberapa desa di NTT meningkat karna tidak ada sarana air bersih (bahkan sudah 75 orang meninggal dunia).

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh berita seorang pemulung yang melahirkan di bawah pohon karna dia tidak punya dana untuk melahirkan dengan pelayanan bidan atau rumah sakit.
Banyak, ada banyak sekali cerita sedih di sekitar kita. Lalu ada di mana sebenarnya negara, apa yang sudah negara lakukan untuk mengatasi persoalan yang mengakibatkan kisah memilukan ini? Ada di mana kita?