Monday, July 14, 2008
Hari ini Kami Satu Tahun
Puisi dari Papa
Papa sudah keluar dari perawatan di RS selama tiga minggu ini. Kondisi Papa belum bisa dikatakan baik, tapi yang pasti tensi darah Papa sedang tidak mengalami gangguan. Badan Papa masih sering gatal—ini menurut berbagai penjelasan tentang penyakit ginjal diakibatkan oleh racun di dalam tubuh yang tidak dapat dibersihkan oleh ginjal meskipun dengan bantuan dialysis. Selain itu Papa juga masih kerap berhalusinasi. Kadang Papa terbawa ke masa remajanya saat Ompung Doli masih hidup dan Papa bisa melihat sanak-keluarga yang telah lama meninggal dunia. Di lain waktu, Papa melihat kamarnya berganti menjadi kebun dengan banyak pohon pisang dan tumbuhan lain. Jika saat gangguan seperti ini muncul, Mama akan dengan sangat sabar memeluk Papa dan mencoba ‘membawa pulang’ Papa kembali ke situasi saat sekarang. Gangguan seperti ini sering muncul karena syaraf Papa sering mengalami trauma akibat tensi yang tiba-tiba drastis naik dan di lain waktu menjadi sangat drop. Kesabaran Mama merawat Papa selalu membuat saya terkagum-kagum. Bahkan Mama rela melepaskan pekerjaannya mengajar. Amazing! Cinta bisa begitu besar kekuatannya ternyata. You are the best Ma!
Cinta dan perasaan halusnya Papa juga yang membuat saya terharu. Ternyata di saat Papa dirawat di RS, dia sempat membuatkan puisi untukku dan Wahyu. Kita berdua kaget dan banyak perasaan lain yang tidak bisa terungkapkan dengan kata-kata. Saya hanya bisa mencium Papa dan mengucapkan terima kasih. Kami juga meminta doa Papa supaya ikatan pernikahan kami ini bisa terus kuat dan selalu dilandasi kasih dan rasa hormat satu sama lain. Kami ingin sekali mencontoh kekuatan perkawinan Papa dan Mama, juga Bapak dan Ibu. Ini doa kami di satu tahun usia pernikahan kami. Kabulkan ya Tuhan, amen.
Ini puisi dari Papa:
Perkawinan Stella
Akhirnya perkawinanmu dapat dilaksanakan di gereja
Aku menangis
Karena ingat akhirnya kau
Diberkati di gereja dengan suamimu
Bernama Wahyu
Kami telah menahan engkau
Selama tujuh tahun
Dikarenakan awal-awalnya
Kami sangat anti
Karena kami adalah
Pengurus gereja
Tapi akhirnya engkau
Diberkati di gereja
Walaupun di antara kalian berdua
Tidak ada yang meninggalkan agamanya
Aku menangis mendengar
Kotbah dari Pdt Dr. Martin Sinaga
Dia memuji kesetiaan dan kesabaran
Kedua pengantin ini selama tujuh tahun
Secara tak langsung telah menyindir kami
Yang selama tujuh tahun
Menghalangi rencana
Yang baik tanpa tak sadar
Karena cinta kalian menurut beliau
Adalah dari Tuhan, bukan
Dari iblis
Kini kelihatannya kalian
Rukun dan berbuah lebat
Laksanakan kewajiban
Masing-masing dengan baik
Sehingga menjadi keluarga
Yang rukun dan setia
(RS Cikini, kamar D-5, 16 Juni 2008)
Thursday, June 12, 2008
Increase women's role in decision making and peacebuilding processes
An article regarding a two-day conference entitled “The Role of Women in Cross-Cultural Dialogue" held in Baku, Azerbaijan, was posted in The Jakarta Post Daily, 11 June 2008. This came to my interest as the title “Increase women’s role in decision making and peace-building process” was as well stated in the recommendations’ narratives in my master thesis entitled “Mending the Shards: Women’s Experiences During and After the Ambon Conflict”.
The conference then declared a Baku Declaration which among others voices a call on all governments to increase the participation of women in all spheres of decision-making, as well as in peace- building processes with a special emphasis on conflict resolution, and an agreement to promote the role of women in mass media aiming at valorizing their image as well as their achievements in ensuring the intercultural dialogue.
I hope these voices will be heard by all parties in all over the world for not putting women aside from peacebuilding processes and dialogues. Here are some lines from my thesis that proposing the same opinion. It came to my thought that it might be valuable to try this effort in the case of FPI-Ahmadiyah. Who knows..
During the conflict in
Women also bridge Muslims and Christians. Women, through their profession, also play big part in peace-building. As an activist, lawyer, paramedics, teacher, priest, journalist, or in any type of profession, women in Ambon has proved that they did maximum actions in serving the people or victims that need their hands. Women helped children, widows, widowers, handicapped victims, displaced persons, families, etc to heal their deep-rooted trauma and regain their courage to start their lives. In short, women implement the peace negotiations and rebuild community cohesion.
During the peace negotiations however, women were overlooked. Despite their significant role during tensions periods, out of 70 participants of the Malino Peace negotiations, only three women were invited.
It has to be highlighted that women’s contributions to peacebuilding and their unique experiences of violence signal the need for mainstreaming gender in all conflict prevention and peacebuilding efforts. Women have to be involved in formal political peace processes. Excluding woman groups from such efforts would mean that the government fails to see capacity of women in peace building. It is evident that in conflict and post-conflict situation women play major role in helping the survivors, among other by providing foods and shelters, but many would normally overlook their simple and non-heroic contributions.
Wednesday, June 11, 2008
Hujan Bulan Juni
Siang tadi saya menerima kiriman puisi dari suami tercinta. Senang karna Wahyu sering mengingatkan tentang hujan di bulan Juni. Ya, sekarang sudah masuk bulan Juni dan kami berdua kerap membicarakan Sapardi Djoko Damono dengan “Hujan Bulan Juni”nya. Indah sekali puisi ini. Thanks my beb.
Saya selalu senang menikmati hujan yang jatuh secara berirama ke bumi. Bau tanah dan rumput yang menebar setelah hujan usai adalah sensasi romantis yang tak bisa terjabarkan dengan kata. Menatap hujan sambil menghirup aroma romantis bumi dari tepi jendela bisa memperkaya hati ini dengan kuntum-kuntum bunga.
Hujan Bulan Juni
(Sapardi Djoko Damono)
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Monday, June 09, 2008
Menari dan Bernyanyilah Papa, seperti Daun Gugur
Sejak Papa mejalani perawatan cuci ginjal dengan metode CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) di bulan September 2007, kondisinya semakin lemah. Papa berulangkali harus dirawat di RS bahkan sempat mengalami kritis di hari Jumat dan Sabtu lalu, 30-31 Mei 2008. Tensinya yang naik drastis menyebabkan Papa sempat meronta kesakitan dan kehilangan kesadaran. Kami semua hanya bisa memegang tangan dan kaki Papa yang meronta, sambil menangis tak henti dan berusaha membujuk Papa agar tenang. Tapi rontaan Papa sangat masuk akal. Siapa kiranya yang bisa menahan sakit sedemikian rupa dengan tensi 256/100? Bahkan banyak yang mengira Papa sudah tidak bisa bertahan. Minggu, 1 Juni, Papa sadar tapi tidak ingat apa yang sudah terjadi di hari kemarin…lalu sorenya kami meminta gereja untuk bisa mengadakan Perjamuan Kudus untuk Papa dan kami sekeluarga.
Sedih melihat kondisi Papa yang begitu lemah, tapi juga terhibur dengan semangat Papa yang masih sedemikian besar. Di Senin siang, 2 Juni, saya sempat melihat mata Papa berair, lalu bertanya “Papa nangis?” dan dijawab olehnya, “Ah, gak mungkin aku nangis..
Saat ini, Papa masih menjalani pengobatan di RS. Masih tergolek lemah dan sering uring-uringan dengan cekukan yang kerap mengganggu—saya baru tahu bahwa orang yang sakit ginjal memang sering didera cekukan. Tadi pagi saat menemani Papa bersaat teduh, ia tersenyum, lagi-lagi mencoba menunjukkan semangatnya yang masih membara. Ya Papa, menari dan bernyanyilah. Puaskanlah hatimu mengejar yang ingin kau lakukan, walaupun keterbatasan mengekangmu demikian dahsyat. Tapi Papa juga harus mau rehat jika sudah merasa letih. Kami sudah dianugerahi limpahan ajaranmu yang selalu berlandaskan kasih. We love U so much, Pa!
Aku Ingin Menari Seperti Daun Gugur
Oleh: MS Hutagalung
Kuperhatikan sebatang pohon
Banyak daunnya yang rontok
Sebelum waktunya
Berserakan di tanah
Yang lepas sendiri dari ranting
Karena cukup tua
Daun itu meliuk-liuk di udara
Seperti menari-nari
Segan jatuh ke bumi
Sebelum memamerkan tarian
Dan warnanya yang coklat kekuning-kuningan
Walaupun akhirnya jatuh ke tanah
Tempat asalnya
Akupun ingin seperti daun itu
Menarikan tarian yang paling indah
Atau menyanyikan sebuah lagu paling merdu
Sebelum jasadku kembali bersatu dengan tanah
Sebagai ucapan terima kasih kepada Pemberi Hidup
(Rawamangun, Akhir Mei 2007)
I want to Dance like a Falling Leaf
I saw a tree
Lots of its leaves were falling
Before their time
Scattered about on the ground
There was a single leaf
Off its branch
As its time was end
It was moving in the air
Like dancing
Feeling reluctant to land on earth
Before showing its dancing performance
And its yellowish brown color
Although finally down on earth
Where it belongs
I want to be like that falling leaf
Dancing the most beautiful dance
Singing the most melodious song
Before my body returns to become one with earth
As the expression of gratitude towards
The Maker of Lives
(Rawamangun, end of May 2007)